Ujian Nasional yang sering disingkat UN
tak ayalnya “monster” yang sangat mengerikan bagi siswa. Bagaimana tidak,
kehadirannya seakan-akan menjadi penentu masa depan mereka. Ibarat medan
perang, yang berhasil tentu mereka yang mampu bertahan dan memiliki strategi
jitu. Sebaliknya, mereka yang tak mampu bertahan akan jatuh dan tersisih dari
yang lain. Ironis memang. Perjuangan mereka selama 3 tahun hanya ditentukan
selama 4 hari. Hal ini tentu tak adil bagi seluruh siswa. Cucuran keringat dan
rasa lelah mereka seakan tak dibalas dengan harga yang setimpal. Jadi, layakkah
UN dilakukan?
         
Setiap tahun penyelenggaraan UN selalu menimbulkan kontroversi. Sebagian dari
mayarakat setuju dengan penyelenggaraan kegiatan tersebut. Namun tak sedikit juga
dari mereka yang menolak keras hal ini. Penyelenggaraan kegiatan ini selalu
menjadi perdebatan hangat dalam kalangan masyarakat. Banyak dari mereka yang
menganggap bahwa kelulusan siswa tidak dapat ditentukan melalui tes sesingkat
itu. Sebab yang lebih mengetahui kemampuan siswa adalah pihak sekolah sendiri.
Menentukan kualitas boleh saja, tapi bukan berarti sebagai penentu kelulusan
mereka.
         
Penyelenggaraan UN ini melahirkan beragam dampak bagi siswa, diantaranya
orientasi nilai yang berlebihan, ketidaksiapan mental, dan hilangnya fungsi
sekolah. Hal ini tentu melunturkan fungsi penyelenggaraan Ujian Nasional yang
sesungguhnya. Seharusnya kita menyadari bahwa pendidikan adalah hal yang sangat
penting dan krusial. Sebaiknya pendidikan diwarnai dengan hal yang positif,
bukan malah akibat buruk yang justru dapat menodai citra pendidikan.
Orientasi Nilai yang Berlebihan
         
Setiap orang tentu ingin menjadi yang terbaik. Begitupun dengan siswa pada
umumnya. Berhasil mengukir prestasi adalah harapan mereka. Perjuangan keras
dalam belajar tentu membuat mereka bertekad untuk memperoleh nilai terbaik
tatkala UN berlangsung. Akhirnya berbagai cara mereka lakukan demi meraih nilai
tersebut. Mulai dari menyontek ketika ujian berlangsung hingga membeli kunci
jawaban dari para calo. Potret yang sungguh memilukan. UN membuat mereka
menggila dengan nilai yang tinggi.
         
Kecurangan dalam Ujian Nasional setiap tahunnya memang selalu terjadi.
Kebanyakan siswa beranggapan bahwa UN hanyalah tentang nilai semata. Waktu 4
hari mereka gunakan untuk memutar otak tentang bagaimana caranya agar lulus
dengan nilai yang maksimal. Bukan berarti nilai tidak penting. Namun alangkah
pentingnya jika nilai tersebut mewakili proses belajar mereka selama ini. Jika
ini terus terjadi, lalu apa manfaat dilakukannya Ujian Nasional? Evaluasi
terhadap kualitas pendidikan bangsa-kah atau hanya sekedar mengetahui
pencapaian nilai peserta didik?
Ketidaksiapan Mental
         
Setiap siswa memiliki sikap mental yang berbeda-beda. Ada yang menganggap Ujian
Nasional sebagai hal yang biasa namun banyak juga siswa yang mengalami
ketakutan ketika ujian nasional berlangsung. Hal ini tentu akan menimbulkan
beberapa akibat, salah satunya yaitu penekanan berlebihan pada persiapan tes.
Inilah yang membuat siswa semakin frustasi dengan penyelenggaraan Ujian
Nasional. Tak heran memang, jika 4 hari tersebut mereka anggap sebagai hari
penyiksaan bagi mereka. Tak hanya secara fisik namun juga mental. 
Orientasi terhadap nilai tentu membuat mereka semakin takut jika mereka tidak
bisa lulus. 
Ketakutan yang dialami tentu akan
mengganggu mental dan psikologis mereka. Psikologis seperti ini tentu akan
mempengaruhi keadaan siswa saat melaksanakan ujian yang tentunya akan berdampak
pada hasil ujian. Alangkah baiknya jika pemerintah dapat memperhatikan hal ini,
karena keadaan psikologis semua siswa tidaklah sama tetapi bervariasi.
Hilangnya fungsi Sekolah
Sebagian besar berpendapat bahwa Ujian
Nasional bisa membuat siswa rajin belajar, guru rajin mengajar, dan orangtua
memperhatikan proses pembelajaran anak. Dalam konteks ini seharusnya pemerintah
menyadari bahwa hal itu terjadi semata-mata untuk memperoleh nilai tinggi dan
lulus ujian.
         
Potret pendidikan Indonesia ini seakan menunjukkan bahwa sekolah telah beralih
fungsi. Bukan lagi sebagai tempat mencari ilmu namun sebagai tempat mencari
nilai. Hal ini tentu sangat berbahaya. Sebab sekolah tak lagi melahirkan siswa
yang bermartabat. Namun melahirkan siswa yang rusak dengan berbagai karakter
buruk.
         
Seharusnya pemerintah sadar bahwa menerapkan hasil Ujian Nasional sebagai
penentu kelulusan siswa adalah hal yang tak adil. Perjuangan mereka selama tiga
tahun tentu tak dapat dibayar dengan berbagai soal yang hanya dilakukan dalam
waktu singkat.  3 tahun tentu tidak sebanding dengan 4 hari. Jika Ujian
Nasional hanya dijadikan sebagai evaluasi kualitas bangsa itu adalah hal yang
 sangat wajar. Namun jika dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa itu
bukanlah hal yang tepat. Karena pada dasarnya yang mengetahui kompetensi dan
kemampuan siswa bukanlah pemerintah namun guru dan sekolah itu sendiri.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar