Bulutangkis mungkin tak
asing lagi bagi seluruh rakyat Indonesia. Cabang olahraga ini kerap kali menimbulkan
euphoria serta kontroversi tersendiri dalam setiap pertandingannya. Begitu pun
dengan olimpiade yang baru saja berlangsung di London beberapa waktu lalu.
Jutaan pasang mata di negeri ini menyaksikan perjuangan keras para atlet dalam
menambah pundi-pundi emas bagi Indonesia. Sayang beribu sayang. Atlet
Bulutangkis Indonesia harus pulang dengan tangan hampa. Kerja keras mereka
selama ini belum mampu membuat Indonesia meraih emas. Mengejutkan sekaligus
memprihatinkan. Bagaimana tidak, Indonesia yang selalu mendulang tradisi emas
sejak tahun 1992 sampai tahun 2008 kini harus menelan pil pahit. Jika seperti
ini siapa yang seharusnya bertanggungjawab?
Penurunan prestasi Bulutangkis ini menjadi perhatian
yang sangat penting. Apalagi ini adalah kali pertamanya Indonesia gagal
memperoleh emas dalam ajang bergengsi Olimpiade. Tatkala hal ini membuat duka
Ibu Pertiwi semakin bertambah setelah permasalahan bangsa di berbagai sektor.
Kekalahan para pemain layaknya pukulan telak bagi Indonesia. Menjadi tugas penting
bagi pemerintah untuk mencari solusi terbaik dalam mencegah hal serupa.
Kualitas
Pemain
Saat
ini kualitas pemain Indonesia seakan menurun. Hal ini ditunjukkan dengan
kegagalan para atlet dalam meraih gelar di beberapa pertandingan. Salah satu
ancaman yang sangat tampak dan paling mempengaruhi kualitas pemain adalah faktor
fisik. Sampai sekarang pemain Indonesia terkesan monoton. Pertandingan seringkali
didominasi oleh pemain senior yang itu-itu saja. Padahal, pertandingan itu
merupakan kesempatan bagi para pemain muda untuk belajar mengembangkan
kemampuan permainan dan mental mereka. Mengingat usia yang masih terlampau muda
tentu mereka juga memiliki ketahanan fisik yang lebih prima daripada seniornya.
Upaya
seperti inilah yang mungkin dapat dilakukan oleh pihak PBSI untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada. Jangan sampai atlet-atlet junior kehilangan kesempatan
untuk belajar mengasah kemampuan mereka di lapangan. Tengok saja negara Cina, mereka
selalu melakukan perkembangan regenerasi yang cukup pesat. Hasil yang
ditunjukkan juga positif. Secara cermat kita dapat menyaksikan bahwa munculnya
para regenerasi ini justru menambah bibit-bibit unggul bangsa mereka. Hal ini dibuktikan
dari segudang prestasi yang telah mereka raih. Kemampuan atlet junior ini juga
tak kalah dengan para seniornya yang lebih dulu mendulang sukses.
Tak
dapat dipungkiri kesuksesan para pemain bergantung pada kualitas pemain itu
sendiri. Jika negara lain saja mampu
mengadakan regenerasi pemain, mengapa Indonesia tidak? Bukankah kemajuan timbul
dari adanya suatu perubahan yang baik?
Jaminan
Pensiun
Masa depan para atlet pun kini pantas untuk dipertanyakan.
Perjuangan jatuh bangun dalam membela negara belum menjadi suatu jaminan akan
kehidupan mereka. Bukan jaminan untuk kehidupan saat ini melainkan kehidupan
mereka yang layak di masa yang akan datang. Akibatnya, tak sedikit anak bangsa yang
harus berpikir dua kali untuk tampil sebagai atlet bangsa. Bukan hanya itu beberapa
atlet sukses juga tak ingin menerjunkan anak mereka ke dalam dunia yang serupa.
Alasannya cukup singkat yaitu “Bagaimana dengan masa depan mereka?”
Permasalahan semacam ini tentu akan berdampak pada
generasi bulutangkis berikutnya. Bisa jadi perkembangan atlet-atlet muda akan
menurun. Parahnya, mungkin bulutangkis akan redup dari dunia olahraga Indonesia.
Kondisi
ini sangat bertolak belakang dengan negara Malaysia. Negara kecil ini telah
menjamin kehidupan masa depan setiap atlet yang mampu mengharumkan nama bangsa
dengan pemberian uang pensiun.
Andai saja hal itu dilakukan, tentu para atlet akan lebih
bersemangat dalam setiap laga pertandingannya. Mereka tidak hanya merasa dibutuhkan
namun juga dianggap. Bukan suatu hal yang mustahil jika prestasi mereka akan
meningkat nantinya.
Mudah
sebenarnya bagi pemerintah untuk menyediakan jaminan pensiun bagi para atlet. Hal
tersulit pada dasarnya adalah mengelola uang negara yang ada secara bersih dan
bertanggungjawab. Sebab terkadang “pensiunan” tersebut tidak sampai kepada
tangan-tangan yang tepat akibat praktik tikus rakus.
Sejumlah pertimbangan sepatutnya dilakukan untuk
mengusuk tuntas masalah ini. Sebab tak adil rasanya jika punggawa bangsa hanya
dihargai ketika mereka berhasil di lapangan. Namun ketika mereka menuntaskan
pengabdian, mereka hanya pulang dengan nama tanpa penghargaan sedikitpun.
Kembalinya
Era Kemenangan
Susi Susanti sampai detik ini seakan menjadi ikon bulutangkis
Indonesia yang tak terlupakan. Jutaan decak kagum dan kebanggaan dari seluruh
rakyat Indonesia memang pantas disematkan kepadanya. Dua puluh tahun yang lalu
tepatnya ketika Olimpiade di Barcelona berlangsung, ia mampu meraih medali emas
pada sektor tunggal putri. Lagu Indonesia
pun untuk pertama kalinya berkumandang di setiap pasang telinga di seluruh
dunia. Mengharukan sekaligus membanggakan.
Sejak
saat itu bendera Indonesia semakin berkibar di kancah Internasional. Rentetan
atlet dengan permainan yang apik juga mampu membawa Indonesia meraih kemenangan
di berbagai pertandingan. Puluhan tahun lalu dunia seakan menjadi saksi akan
kejayaan Bulutangkis Indonesia. Kemampuan mereka pun kini membuahkan hasil.
Beberapa diantara mereka diminta oleh pemerintah negara lain untuk melatih
atlet Bulutangkis mereka. Luar biasa. Siapa yang tidak ingin hal ini terulang
kembali?
Bukan
hal yang mudah memang membuat semua asa dan impian itu terwujud. Persiapan yang
matang, kerja keras, serta semangat juang yang tinggi adalah kunci kesuksesan
itu. Namun sayangnya tindakan itu tak bisa dilakukan oleh segelintir pihak
saja. Artinya bukan hanya atlet, pelatih, atau divisi-divisi tertentu yang
harus melakukannya. Namun dibutuhkan kerjasama dari seluruh komponen organisasi
terkait. Dengan begitu kejayaan Bulutangkis di masa lalu bukan lagi sebuah
mimpi. Namun menjadi sebuah bukti nyata bahwa Bulutangkis tetap hidup dan
selalu membawa kemenangan bagi bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar